Arkeolog UI

Friday, May 6, 2016

Tabot, Indahnya Harmonisasi Kultural

Sumber Foto: JKPI & Indonesia Travel

Selama 300 tahun, pada tanggal 1-10 Muharam, masyarakat Bengkulu selalu melaksanakan upacara Tabot. Upacara ini digelar untuk mengenang kisah kepahlawanan dan gugurnya cucu Nabi Muhammad SAW, Husein bin Ali bin Abi Thalib dalam peperangan di padang Karbala, Irak (10 Muharam 681 M). Menariknya, meskipun Tabot berasal dari ajaran Syiah, tapi di sini Tabot bisa diterima oleh semua kalangan dan diselenggarakan setiap tahun. Masyarakat yang bukan penganut Syiah tidak pernah menunjukan penolakan pada Tabot. Bahkan pernah sekali waktu, masyarakat Bengkulu tidak melaksanakan Upacara Tabot. Alhasil, hampir seluruh penduduk terkena penyakit cacar. Mereka mempercayai, bahwa tidak dilaksanakannya upacara Tabot menyebabkan kemarahan arwah leluhur”. Kondisi ini terjadi karena adanya kekuatan local genius dari masyarakat asli yang "merubah" Tabot menjadi bagian dari tradisi dan identitas budaya mereka.

Penamaan Tabot sendiri memiliki berbagai versi. Salah satunya adalah, saat jasad Husein yang sudah tidak berkepala dan bertangan itu ditemukan oleh para pengikutnya, tiba-tiba turunlah bangunan aneh yang sangat indah, lalu mengangkat tubuh Husein. Para pengikut Husein yang sangat menyayangi pemimpin mereka ikut bergelantungan pada bangunan indah yang terbang itu, dan pada saat itu terdengar suara yang berkata : Kalau kamu sayang kepada Hussain, buatlah bangunan berbentuk indah ini setiap sepuluh hari dalam bulan Muharram guna mengenang para syuhada yang gugur di Padang Karbala”. Bangunan indah yang membawa jenazah Hussain itu kemudian disebut Tabut (Tabot dalam dialek bahasa Bengkulu). Dalam bahasa Arab artinya kotak atau peti. Dan sejak saat itu Upacara Tabot dilaksanakan setiap tahun selama 10 hari dalam bulan Muharram. Di Indonesia, tepatnya di Bengkulu, tokoh yang pertama kali melaksanakan upacara Tabot adalah Imam Senggolo (Syekh Burhanudin), penganut ajaran Islam Syi'ah, yang berasal dari India (1685 M). Kemudian dia menikah dengan wanita asli Bengkulu. Keturunan mereka di sebut sebagai keluarga Tabot atau orang Sipai. Mereka inilah yang selalu menyelenggarakan upacara Tabot.

Selain sarat dengan makna religis, Tabot juga menyimpan nilai-nilai kehidupan sosial. Nampak dari prosesi yang dilakukan. Mulai dari proses “mengambil tanah”, yang dimaknai bahwa manusia berasal dari tanah dan kelak akan kembali ke tanah. Doa yang dilafazkan dan sesajen yang dipersiapkan, merupakan bentuk rasa terimakasih kepada Tuhan dan juga para leluhur.

Kemudian Menjara artinya berkunjung ke kelompok lain untuk melakukan pertandingan dol (bedug). Tanggal 6 dan 7 Muharam kelompok Tabot Bangsal dan Tabot Berkas, saling mengunjungi secara bergantian. Sehingga terjadi hubungan silaturahmi yang baik antar kelompok.

Dalam pelaksanaan upacara Tabot pun tidak sepenuhnya mengikuti ritual asalnya, tapi sudah bercampur dengan tradisi lokal. Seperti adanya pembuatan sesajen, yang merupakan kebiasaan nenek moyang dalam persembahannya kepada arwah leluhur. Azas gotong royong dan kekeluargaan tercermin dalam pembuatan 17 Tabot beserta semua perlengkapannya, dan saling mengunjungi untuk bersilaturahmi. Dan yang utama, dalam upacara Tabot tidak ada ritual kekerasan yang melukai diri sendiri (berbeda dengan negeri asalnya, India). Tabot mengikuti falsafah hidup masyarakat Bengkulu yang menjunjung tinggi nilai perdamaian.

Selain di Bengkulu, daerah lain yang masih melaksana upacara semacam Tabot adalah Pariaman, Sumatera Barat. Dengan sebutan Tabuik. Di daerah ini Tabuik konon sudah dikenal sejak tahun 1831 M yang dibawa oleh tentara Inggris asal Sepoy atau Cipei (India). Bila di Bengkulu ada 17 Tabot (disesuaikan dengan jumlah keluarga Tabot perintis), di Pariaman hanya ada 2 Tabuik yang melambangkan peti jenazah Hasan ra dan Husein ra, cucu Nabi Muhammad SAW. Dan melengkapi unsur islaminya, sebelum upacara Tabuik dilakukan dzikir bersama dan tausiyah. Perbedaan pelaksanaan upacara Tabot dan Tabuik semata-mata karena proses akulturasi dan asimilasi terhadap tradisi lokal yang ada.

Untuk menjaga kelestarian Tabot dan Tabuik, saat ini pemerintah daerah menyelenggarakannya sebagai kegiatan wisata rutin tahunan. Bengkulu dengan Festival Tabot. Pariaman dengan Pesta Budaya Tabuik. Namun dalam pelaksanaannya, sejogjanya festival tersebut tidak hanya sekedar untuk meningkatkan pariwisata daerah, tanpa memaknai nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Jika demikian adanya, Tabot dan Tabuik hanya akan menjadi peristiwa keramaian belaka. Padahal dari Tradisi Tabot dan Tabuik, kita bisa belajar bahwa setiap perbedaan dapat menjadi indah jika terjadi saling penyesuaian, tanpa harus ada yang tersisihkan. Sehingga, keberagaman budaya bisa menjadi kesatuan utuh yang harmonis.

Pernah diterbitkan di Majalah WarisanKita

0 comments: