Sumber Foto: JKPI & Indonesia Travel
Selama 300 tahun, pada tanggal
1-10 Muharam, masyarakat
Bengkulu selalu melaksanakan upacara Tabot. Upacara ini digelar untuk mengenang
kisah kepahlawanan dan gugurnya cucu Nabi Muhammad SAW, Husein bin Ali bin Abi Thalib
dalam peperangan di padang Karbala, Irak (10 Muharam 681 M). Menariknya,
meskipun Tabot berasal dari ajaran Syiah, tapi di sini Tabot bisa diterima
oleh semua kalangan dan diselenggarakan setiap tahun. Masyarakat yang bukan penganut Syiah tidak pernah menunjukan
penolakan pada Tabot. Bahkan pernah sekali waktu, masyarakat Bengkulu tidak
melaksanakan Upacara
Tabot. Alhasil, hampir seluruh penduduk terkena penyakit cacar. Mereka
mempercayai, bahwa tidak dilaksanakannya upacara Tabot menyebabkan “kemarahan
arwah leluhur”. Kondisi ini terjadi karena adanya kekuatan local genius dari masyarakat asli
yang "merubah" Tabot
menjadi bagian dari tradisi dan identitas budaya mereka.
Penamaan Tabot sendiri memiliki berbagai versi. Salah satunya adalah, saat jasad Husein yang sudah tidak berkepala dan
bertangan itu ditemukan oleh para pengikutnya, tiba-tiba turunlah bangunan aneh
yang sangat indah, lalu mengangkat tubuh Husein. Para pengikut Husein yang
sangat menyayangi pemimpin mereka ikut bergelantungan pada bangunan indah yang
terbang itu, dan pada saat itu terdengar suara yang berkata : “Kalau kamu sayang kepada Hussain, buatlah
bangunan berbentuk indah ini setiap sepuluh hari dalam bulan Muharram guna
mengenang para syuhada yang gugur di Padang Karbala”. Bangunan indah yang membawa jenazah Hussain itu kemudian
disebut Tabut (Tabot dalam dialek bahasa Bengkulu).
Dalam bahasa Arab artinya kotak atau peti. Dan sejak saat itu
Upacara Tabot dilaksanakan setiap tahun selama 10 hari dalam bulan Muharram. Di Indonesia, tepatnya di Bengkulu, tokoh yang pertama kali melaksanakan upacara Tabot adalah Imam Senggolo (Syekh Burhanudin), penganut ajaran Islam Syi'ah, yang berasal dari India (1685 M). Kemudian dia menikah dengan wanita asli Bengkulu. Keturunan mereka di sebut sebagai keluarga Tabot atau orang Sipai. Mereka inilah yang selalu menyelenggarakan upacara Tabot.
Selain sarat dengan makna religis, Tabot juga menyimpan
nilai-nilai kehidupan sosial. Nampak dari prosesi yang
dilakukan. Mulai dari proses “mengambil tanah”, yang dimaknai
bahwa manusia berasal dari tanah dan kelak akan kembali ke tanah. Doa yang dilafazkan dan sesajen yang dipersiapkan, merupakan
bentuk rasa terimakasih kepada Tuhan dan juga para leluhur.
Kemudian Menjara artinya berkunjung ke
kelompok lain untuk melakukan pertandingan dol (bedug). Tanggal 6 dan 7 Muharam
kelompok Tabot Bangsal dan Tabot Berkas, saling mengunjungi secara bergantian.
Sehingga terjadi hubungan silaturahmi yang baik antar kelompok.
Dalam pelaksanaan upacara
Tabot pun tidak sepenuhnya mengikuti ritual asalnya, tapi sudah bercampur dengan
tradisi lokal. Seperti adanya pembuatan sesajen, yang merupakan kebiasaan nenek
moyang dalam persembahannya kepada arwah leluhur. Azas gotong royong dan
kekeluargaan tercermin dalam pembuatan 17 Tabot beserta semua perlengkapannya,
dan saling mengunjungi untuk bersilaturahmi. Dan yang utama, dalam upacara Tabot tidak ada ritual kekerasan yang melukai diri sendiri (berbeda dengan negeri asalnya, India). Tabot mengikuti falsafah hidup masyarakat Bengkulu yang
menjunjung tinggi nilai perdamaian.
Selain di Bengkulu, daerah lain yang masih melaksana upacara
semacam Tabot adalah Pariaman, Sumatera Barat. Dengan sebutan Tabuik.
Di daerah ini Tabuik konon sudah dikenal sejak tahun 1831 M yang dibawa oleh
tentara Inggris asal Sepoy atau Cipei (India). Bila di Bengkulu ada 17 Tabot (disesuaikan
dengan jumlah keluarga Tabot perintis), di Pariaman hanya ada 2 Tabuik yang
melambangkan peti jenazah Hasan ra dan Husein ra, cucu Nabi Muhammad SAW. Dan
melengkapi unsur islaminya, sebelum upacara Tabuik dilakukan dzikir bersama dan
tausiyah. Perbedaan pelaksanaan upacara Tabot dan Tabuik semata-mata karena
proses akulturasi dan asimilasi terhadap tradisi lokal yang ada.
Untuk menjaga kelestarian Tabot dan Tabuik, saat ini
pemerintah daerah menyelenggarakannya sebagai kegiatan wisata rutin tahunan.
Bengkulu dengan Festival Tabot.
Pariaman dengan Pesta Budaya Tabuik.
Namun dalam pelaksanaannya, sejogjanya festival
tersebut tidak hanya
sekedar untuk meningkatkan pariwisata daerah, tanpa memaknai nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya. Jika demikian adanya, Tabot dan Tabuik hanya akan
menjadi peristiwa keramaian belaka. Padahal dari
Tradisi Tabot dan Tabuik, kita bisa belajar bahwa setiap perbedaan dapat
menjadi indah jika terjadi saling penyesuaian, tanpa harus ada yang
tersisihkan. Sehingga, keberagaman budaya bisa menjadi kesatuan utuh yang
harmonis.
Pernah diterbitkan di Majalah WarisanKita